“Kalo dilihat dari segi zaman dan
pembagian kelas, gak seharusnya kita depet pelajaran sejarah. Buat apa coba
kita dapet pelajaran sejarah kalo yang diajarin cuman itu-itu ajah. Bosen
tau!!!!!” Kata Jessyca dengan kening berkerut. “Iya yah….Kita anak-anak IPA,
ngapai coba dapet pelajaran sejarah, tau dah sekarang siswa yang minat di kelas
IPS sedikit, tapi nggak kaya gini juga kali. Gurunya dilempar ke kelas IPA.
Dari SD ampe SMA materinya itu-itu ajah. Tokoh pahlawan lah, pembela
kemerdekaan lah, sejarah awal bangsa lah, inilah, itulah, gak bosen-bosen”
Sambung Marina sambil merobek salah satu foto pahlawan yang terdapat dalam buku
LKS’nya. “Kalian gampang ngomong kaya gitu, tapi coba deh kalian pikir milyaran
kali, apa yang akan kalian rasain jika gak ada orang yang tahu sejarah kalian?
Gak ada yang tahu hari lahir kalian, dan gak ada yang tahu kalian ini dari
golongan keluarga kaya. Pasti sakit banget kan? Contoh lain, jika kalian
berprestasi dan sering mendapat juara atau penghargaan dari berbagai perlombaan
IPA tapi gak ada orang yang mengetahui prestasi kalian, pasti kalian kecewa
kan? Dan yang lebih menyakitkan adalah, jika foto pacar kalian yang sering
kalian gembar-gemborkan itu dirobek terus dibakar didepan muka kalian dengan
sengaja. Dan sekarang kalian telah menyakiti para janda pahlawan dengan merobek
foto suami mereka. Mereka pasti akan sangat marah dan sedih jika mengetahui apa
yang udah kalian lakukan. Dan bangsa kita akan hancur jika para penerusnya
termasuk kalian tidak mengetahui sejarah dari bangsa mereka sendiri. Satu lagi,
jangan pernah kalian ngeremehin para pahlawan bangsa kita, karena tanpa mereka
kalian gak akan pernah ngerasain kemewahan dari kemerdekaan yang telah para
pejuang capai” Kata Sanchi dengan senyum sinis sambil bangkit dari tempat
duduknya dan segera menuju perpustakaan sekolah. Jessyca dan Marina tertunduk
dan tidak berani memandang sekitar.
Di perpustakaan sekolah. “Ahh ini dia, cerpen
yang berjudul Si Manis dan Janda Sang PETA karangan Diah Sanjiwani” Halaman
pertama cerpen. “Aku tahu jika aku melakukan ini akan terjadi sesuatu yang
menimpa diriku nantinya. Tapi, jika seragamku tetap berwarna putih tanpa
tetesan darahku, maka hidupku selamanya takkan bermakna” Seperti biasa aku
menelusuri trotoar ini setiap berangkat ataupun pulang sekolah, ada yang beda.
“Sejak kapan disini ada gubuk? Kemarin kan gak ada, keliatannya masih baru”
Dengan tatapan penuh curiga. Namun Diah tetap berlalu.
Sepulang sekolah. “Jangan ambil gubukku,
tidakkah kalian puas sudah mengambil rumah dan semua hartaku? Apa yang kalian
inginkan lagi dari seorang tua renta tanpa suami sepertiku?” “Kami hanya ingin
anda tidak merusak pemandangan kota dengan mendirikan gubuk di pinggir jalan,
kami sudah berusaha mengusir anda dengan halus tapi anda tetap menolak. Kalau
saja anda bukan mantan istri dari mantan komandan kami, anda sudah kami usir
secara kasar. Jadi turutin saja apa perintah kami” Dari kejauhan tampak 5 orang
SATPOL PP dan seorang nenek tua renta sedang bertengkar.
“Permisi, maaf sedang terjadi apakah
disini?” tanyaku sambil memegang lengan nenek itu yang hampir terjatuh. “Anak
kecil tidak usah ikut campur, ayo pulang sana!!!” Bentak salah seorang dari
SATPOL PP itu. “Tidak!!! Apa bapak pikir anak kecil tidak boleh bicara? Saya
yakin bapak tahu tentang pasal yang mengatur hak anak yang salah satunya adalah
hak untuk berbicara dan mengajukan pendapat!!” Kata Diah dengan mata melotot.
“Sudahlah Ndan, jangan meladenin anak ingusan ini, seret saja si nenek kalo
masih gak mau pindah!!!” Kata salah satu dari mereka “Iya bener Ndan, bawa saja
ke kantor biar dikasi pelajaran, biar kapok” Sambung yang lain. Diah di dorong
dan tersungkur “AduhHHH,” “Jangan bawa saya, saya tidak salah, tolong saya.
Saya tidak salah” jerit sang nenek “Hentikan pak, saya yang akan membawa nenek
ini pulang!” Sela Diah “Benarkah? Baiklah kalau begitu. Ambil saja nenek ini”
Kata salah satu dari mereka sambil mendorong nenek itu hingga terjatuh di
pelukan Diah. “Masih untung di kota besar seperti sekarang masih ada yang mau
mengadopsi nenek peot seperti anda, dan seharusnya anda berterimakasih kepada
anak itu” Sambung salah seorang. “Terimakasih cu” Kata sang nenek kepadaku. Aku
tersenyum karena SATPOL PP yang nyebelin
itu udah pergi dan sekarang aku punya nenek baru, setelah nenek kandungku
meninggal setahun yang lalu.
Sesampainya dirumah. “Yaampun nak, siapa
yang kamu bawa ini?” Tanya Bu Dinar dengan tatapan curiga kepada nenek tua yang
diajak Diah. “i.i.i.i.ni nenek yang tinggal di gubuk itu ma, kasian nenek
diusir sama SATPOL PP” kata Diah dengan terbata-bata. “Apa? Ngapain kamu bawa
orang asing masuk kerumah kita? Iya kalo nenek ini adalah orang baik-baik, tapi
kalau ternyata orang jahat, ya habislah harta kita Iah” Bentak mamanya sambil
duduk di sofa ruang tamu. “Ma, kenapa mama hanya menilai orang dari luarnya
saja? Apa mama nggak punya nurani buat nolongin orang tua yang lagi kesusahan
nyari tempat tinggal?” Bentak Diah sambil melemparkan tasnya di atas sofa. “Ayo
nek, kita ke kamar Iah” Kata Diah sambil menarik tangan si nenek. “Tunggu, mama
mau bicara dengan nenek ini” Cegat Bu Dinar. Diah akhirnya mengiyakan.
Si nenek berjalan perlahan menuju sofa
dan duduk diatasnya. “Siapa sebenarnya anda ini? Nama? Alamat? Atau bahkan
keluarga anda!!!” Tanya Bu Dinar dengan ketus. “Saya adalah Nurwati, saya dari Semarang”
Jawab nenek itu dengan kepala tertunduk. “Anda kan dari Semarang, pasti anda
punya rumah kan? Jadi saya harapkan anda besok pagi agar pulang ke Semarang,
untuk biaya transportasi ini saya kasi” Balas Bu Dinar sambil melemparkan
sebuah amplop berisi uang. “Jika rumah saya yang di Semarang tidak hancur
gara-gara pemberontakan itu, saya tidak akan datang ke Jakarta ini. Jika saya
tidak diiming-imingi rumah pengganti oleh bapak-bapak berdasi, saya juga tidak
akan datang ke Jakarta, dan jika saya tidak
mengingat jasa suami saya, saya tidak akan pernah sudi datang ke kota
yang kejam ini” Kata si nenek dengan menitikan air mata. “Ooooh, berarti
keluarga anda di Semarang adalah keluarga yang tidak baik-baik? Pantas saja
rumahnya dihancurkan, hahahahahahaha” Balas Ibu Dinar dengan tertawa
terpingkal-pingkal.
“Pada saat pemberontakan G 30 S PKI itu,
suami saya sedang bertugas mengawal 6 jendral yang sedang terancam nyawanya.
Dan pada saat keenam jendral itu di bantai habis-habisan di lubang buaya oleh
kaum itu, saya sudah berfikir bahwa suami saya telah terbunuh setelah mengawal
keenam jendral itu. Semua perwira TNI yang mengawal keenam jendral itu tewas di
lubang buaya.” Kata nenek sambil mengusap air matanya. “Jika memang suami anda
seorang perwira TNI atau bisa dibilang sebagai pembela tanah air, kenapa rumah
anda dihancurkan?” Balas Ibu Dinar. “Setelah pembantaian itu, pasukan PKI,
datang kerumah saya dan menghancurkan rumah saya itu. Tapi, untung saja sebelum
suami saya mengawal keenam jendral itu, suami saya meninggalkan sepucuk surat
yang menyuruh saya segera pergi sejauh-jauhnya dari Semarang jika saya sudah
mendengar kematian suami saya. Dan ternyata pesan dari suami saya itu
menyelamatkan nyawa saya. Saat rumah saya dihancurkan, saya sedang tidak berada
di Semarang. Namun, hidup saya terlunta-lunta. Setelah orde lama berganti menjadi
orde baru semua istri dari perwira TNI yang gugur saat mengawal para jendral
dipanggil ke Jakarta dan mendapat suatu penghargaan yaitu sebuah rumah
sederhana. Saya sangat bersyukur dan mengucapkan banyak terimakasih kepada
pemerintah. Namun, rumah itu tidak bertahan lama, kami diusir secara paksa oleh
TNI yang dituhaskan langsung oleh pemerintah karena alasan kami para janda
tidak memiliki surat keputusan dari presiden untuk menempati rumah itu, padahal
kami sudah memilki sertifikat rumah beserta tanah. Cobaan apa lagi yang akan
saya tanggung. Sedikit demi sedikit para janda PETA meninggal karena tidak
sanggup bertahan hidup di kota besar ini tanpa saudara dan dengan tekanan
mental. Hanya saya yang mampu bertahan sampai sekarang. Saya sangat-sangat kecewa
dengan pemerintah.” Si nenek kembali mengusap air matanya. Ibu Dinar juga
menitikan air mata setelah mendengan cerita dari si nenek. Diah yang tanpa
sengaja menguping pembicaraan mereka juga ikut menangis. Ibu sudah meminta maaf
karena sifatnya yang kasar pada nenek.
Keesokan harinya di aula sekolah. “Aku
sangat mengharapkan uluran tangan kalian untuk membantu para janda PETA yang
sama sekali tidak dilihat oleh pemerintah, suami mereka sudah berjasa
memerdekakan bangsa kita, tapi setelah suami mereka gugur, para istrinya tidak
dilirik apalagi dilihat. Disini aku ngumpulin kalian karena aku pengen ngadain
penggalangan dana di jalan-jalan yang sasarannya itu adalah masyarakat.
Mudah-mudahan pemerintah ada yang peduli dengan apa yang udah kita lakuin. Dan
seandainya pemerintah belum sadar, dana yang udah terkumpul bisa kita
sumbangkan kepada para janda PETA. Gimana menurut kalian?” Kata Diah dengan
menggebu-gebu kepada 19 orang temannya. “SETUJUUUUU” teriak mereka kompak.
Sepulang sekolah mereka ber 20 langsung melaksanakan aksinya di jalan raya.
Mereka banyak mendapat simpati dari
masyarakat, sehingga pada hari pertama mereka sudah mengumpulkan dana yang
lumayan. Semingggu berlalu, mereka telah mengumpulkan dana sebesar
Rp.7.000.000,00. Sungguh sangat lumayan. “Aku sangat-sangat bertrimakasih
dengan kalian, hanya kalian yang bisa bantu aku. Makasih banget” Kata Diah
sambil menangis. “Iiah, kami ikhlas bantu kamu apalagi dana ini akan kita
sumbangkan kepada para janda PETA, jadi kami bisa beramal sebanyak-banyaknya
kepada orang yang membutuhkan uluran tangan kita.” Kata salah seorang dari
mereka.
Dua minggu kemudian. “Nek, sepertinya
dana ini belum cukup, pelum ada pemerintah yang tergugah dengan aksi yang kami
lakukan, begitu tertutupkah pemerintah dengan janda PETA nek?” Tanya Diah
kepada nenek itu. “Sudahlah cu, jasa cucu kepada nenek sangat banyak, dengan
nenek menumpang dirumah cucu saja sudah sangan merepotkan cucu, nenek tidak mau
merepotkan lagi dengan cucu mengadakan penggalangan dana untuk kami janda
PETA.” Balas nenek sambil memeluk Diah.
Keesokan harinya para TNI dan
Polisi datang kerumah Diah dan menangkap
nenek Nurwati, sangat disayangkan rumah dalam keadaan kosong. Diah masih
bersekolah dan kedua orang tuanya sedang bekerja. Tanpa mengelak lagi, nenek
Nurwati langsung mengikuti para Polisi tersebut. Sesampainya Diah dirumah, dia
merasa terkejut karena rumah dalam keadaan kosong. Hanya ada sepucuk surat yang
bertuliskan ucapan terimakasih. Diah terkejut dan menyadari bahwa surat itu
adalah surat dari nenek. Akhirnya Diah segera menyalakan tv dan melihat berita
penangkapan seorang janda PETA. Para oknum polisi menangkap nenek itu karena
telah meracuni pikiran anak dibawah umur dengan menyuruh mengadakan
penggalangan dana untuk para janda-janda PETA. Diah yang kesal langsung menuju
kantor polisi.
“Biarkan saya masuk untuk melihat nenek
saya!!!” Teriak Diah dari luar kantor polisi yang dijaga ketat oleh para polisi
berbadan tegap. “Tidak boleh!!!” Bentak polisi itu. “Kenapa tidak boleh? Itu
adalah nenek saya, kalian tidak boleh menangkap nenek saya, apa yang mendasari
penangkapan itu? Apa ini karena faktor politik? Atau jangan-jangan ini karena
uang? Ahh…Kalian tidak bisa menjawab kan, saya yang anak SMA saja tahu seluk
beluk hal ini. Biarkan sekarang saya masuk” Bentak Diah sambil mendorong polisi
itu. Tapi bukannya polisinya yang terlempar, tapi tubuh kecil Diah yang duluan
dilempar oleh para polisi itu. “Oh, jadi kaya gini perlakuan kalian kepada
seorang siswa SMA yang berusaha menyelamatkan neneknya. Coba bapak-bapak pikir,
kalian ini adalah pelindung masyarakat, yang melindungi hak dan kewajiban
masyarakat. Baiklah, saya tidak akan
tinggal diam, saya akan melakukan segala cara untuk membebaskan nenek saya.”
Polisi itu hanya diam dan mengabaikan Diah. Akhirnya Diah pergi meninggalkan
tempat itu.
Keesokan harinya Diah dan teman-temannya
yang berjumlah 19 orang itu membuat banyak poster dan pamphlet yang berisi
berbagai kecaman tentang pemerintah yang tidak bertanggung jawab dan kurang
memperhatikan janda-janda PETA yang sekarang di tahan di rutan pondok bambu.
Mereka juga menyebarkan selebaran yang berisikan keadaan janda PETA yang
memprihatinkan di masa revormasi ini. Seminggu lebih Nenek Nurwati ditahan di
penjara dan seminggu lebih Diah dan kawan-kawan mengadakan berbagai kecaman,
namun tidak ada tanggapan dari pemerintah. Kecewa, sedih, dan putus asa yang
dirasakan mereka. Tapi upaya mereka itu mendapat sambutan yang baik dari
masyarakat. “Apa karena kita masih anak-anak, lalu kita tidak bisa bersikap
seperti ini? Apa karena kita masih anak-anak pemerintah tidak pernah mendengan
suara kami? Apa salahnya mendengar untuk sekejap dan sekedar menyampaikan
argument di depan mereka? Kenapa mereka bertindak seperti ini? Ini tidak adil,
ini tidak berperi kemanusiaan, menahan orang yang tak bersalah demi kepentingan
politik, menahan orang sembarangan tanpa mau mendengar pembelaan dari terdakwa.
Apa karena nenek adalah orang tua yang tak tau apa-apa makanya polisi bertindak
tidak adil seperti sekarang? Aku benar-benar kecewa dengan pemerintahan yang
seperti ini, mana peran serta presiden kita? Mana? Apakah yang diatas itu
berpura-pura tuli, dan berpura-pura tidak melihat masalah yang sebesar ini?
Mungkin bagi mereka ini masalah sepele, tapi ini bagi kami kaum muda tidaklah
adil” Diah marah sambil menitikan air mata di depan para teman-temannya. “Iya
benar, ini tidaklah adil, ini tidak benar, kami punya hak untuk berpendapat,
tapi tidak pernah punya kesempatan, apa-apaan ini???” Sambung salah seorang
dari mereka. Suasana di tempat mereka sangat gaduh karena semuanya punya
argument yang berbeda-beda.
Keesokan harinya sepulang sekolah Diah
disambut oleh 5 orang TNI yang lengkap membawa senapan. Tanpa rasa takut, Diah
melangkah menuju ke 5 orang anggota TNI itu. “Ayo ikut kami sekarang” Bentak
oknum TNI itu. Tanpa berontak Diah langsung mengikuti perkataan TNI tersebut.
Diperjalanan Diah menulis sebuah surat.
“Kepada Janda PETA,
Sekarang alam mengikuti suasana hatiku,
hujan, petir yang menyambar-nyambar. Aku tahu kemana mereka akan membawaku, aku
tahu sekarang adalah akhirku, tapi setidaknya aku sudah berusaha memberikan
seperempat cahayaku untuk membantumu bernafas lebih lama dari usiamu sekarang.
Andai orang berdasi itu mendengar suara hatiku, maka itu adalah takdirmu untuk
menutup usia dengan lapang. Tapi, jika mereka tetap menjahit mulut dan
memborgol tangan mereka, maka itu adalah takdirmu untuk menutup usia dengan
jiwa terpenjara. Sebelum seragam putihku berubah merah, aku akan tetap
membuatmu bernafas.
Dari : Ganis Manis
Sesampainya di suatu tempat. “Komandan,
ini gadis yang saya maksud!” Kata seorang dati TNI itu. “Seberapa besar nyalimu
anak manis, sampai kamu berani mengecam pemerintah?” Kata seorang komandan
sambil memegang muka Diah. “Saya tidak akan menjawab!” Balas Diah sambil
memalingkan mukanya. Suasana tempat itu sunyi dan sepi, hanya jejeran sel-sel
usang yang terdapat di tempat itu. Dan setelah pikir panjang, Diah menyadari
tempat itu adalah penjara dimana neneknya ditahan. “Bawa orang tua itu kesini
segera!” Perintah salah seorang komandan kepada seorang sersan. “Siap dan”
Seorang nenek datang dengan langkah
terseok-seok. “Nenek!!!!” Suasana tempat itu menjadi hangan setelah Diah dan
Nenek Nurwati melepas rindu dan berpelukan. Dengan cepat polisi dan TNI yang
ada disana melepaskan pelukan mereka dan segera membawa nenek itu kembali ke
sel dan Diah segera diusir keluar penjara. Di luar rutan, Diah sudah ditunggu
oleh ke 19 temanya. “Apa kalian tahu apa yang telah terjadi di dalam? Mereka
menyeretku agar aku ikut dengan mereka dan setelah aku dibawa kesini, mereka malah
mengusirku keluar. Apa sih maunya mereka” Kata Diah dengan nada kesal dihadapan
teman-temannya. “Udahlah Iiah, ini memang bukan jalan kita, ayo kita pulang,
nati kita pikirkan cara lain. ” Diah menyerahkan selembar kertas yang berisi
sepucuk surat kepada salah seorang dari temannya, dan setelah Diah berbalik
badan tiba-tiba terdengar tiga kali tembakan. Dan saat tembakan yang ke tiga,
pelurunya mengenai dada kiri Diah. Diah pun terjatuh tersungkur bersimbah
darah. Teman-temannya pun segera membawa Diah kerumah sakit namun diperjalanan
Diah menghembuskan nafas terakhir.
Selama satu tahun teman-teman Diah
mengusut penyebab kematian Diah dan mencari tahu siapa pembunuhnya. Namun,
selalu saja mendapat jalan buntu dan ada saja pihak dari pemerintah yang
menutup-nutupi penyebab kematian Diah. Sudah serahun kematian Diah menjadi
sebuah misteri dan sebulan kemudian, teman-teman Diah membuka surat yang dulu
diberikan Diah dan mereka pun akhirnya menyadari bahwa pembunuh Diah adalah
salah satu dari anggota kepolisian yang bekerja sama dengan beberapa anggota
TNI. Presiden pun mulai turun tangan dan kembali mengusut misteri penembakan
seorang gadis yang telah berkorban untuk memperjuangkan hak para janda PETA.
5 tahun telah berlalu. Semua orang yang
terlibat dalam insiden beberapa tahun lalu telah ditangkap dan mendapat hukuman
yang setimpal. Nenek Nurwati pun telah dibebaskan, dan orang tua Diah masih
diliputi rasa duka namun mereka juga patut berbangga dengan apa yang telah
dilakukan oleh ananknya.
“Dengan semangat patriotisme dan
nasionalisme, aku berjanji untuk mengganti seragam putihku menjadi warna merah
darahku”
Selesai membaca cerpen, Sanchi langsung
menangis dan terharu akan perjuangan seorang gadis manis yang rela berkorban
menuntuk keadilan. “Kalau yang buat cerpen ini namanya Diah, terus tokohnya
juga Diah, dan yang diberitakan meninggal karena ditembak beberapa tahun lalu
juga Diah, berari ini cerita nyata dong, yaampun aku takut sekali. Pak cerpen
ini cerita asli ya?” Tanya Sanchi kepada penjaga perpus. “Iya neng, dulu Diah
itu adalah siswi yang bersekolah di SMA ini. Dan setelah neng datang, bapak
jadi teringat kembali dengan Diah karena Diah juga dulu sering duduk di tempat
yang neng duduki tadi” Kata penjaga perpus. “Yaampun, saya takut pak, saya
harap dia tidak marah” Balas Sanchi. “Tidak neng, dari tadi Diah ngeliatin
neng, dia ngeliatin neng dan salut sama neng karena sifat dan watak kalian
sama” Semuanya tersenyum. J
Oleh : NI LUH WAYAN
DIAH SANJIWANI
TTL : PUJUNG KAJA, 07
OKTOBER 1996
ALAMAT : BR.PUJUNG
KAJA, TEGALLALANG, GIANYAR
SEKOLAH : SMA NEGERI 1
GIANYAR
Selamat siang kawan, hehehe.. siang ini saya post cerpen Diah Sanjiwani. Kemarin sore ketika kita skype an saya minta cerpen buat di posting di blog saya ini. Maunya sih dibikinin yang so sweet, tapi berhubung saya minta cepet yaudah dikasi cerpen yang udah ada. Next time, saya bakal post cerpen yang so sweet ya :) bukan cerpen galau seperti yang saya posting sebelumya "Facebook Galau". Terimakasih telah membaca Sob. Nah, untuk sekarang ingat comment cerpennya ya!